Ketika Tuhan Menguji Iman Kita Seperti Halnya Para Rasul


Apa yang akan kita rasakan saat mengetahui bahwa orang yang sangat kita kasihi, orang tua, anak atau saudara, akan segera dipanggil ke rumah Bapa di surga? Bagi kita yang pernah merasakannya termasuk saya, itu adalah perasaan yang tidak ingin saya rasakan lagi.

Karena ikatan batin yang kuat, jiwa kita dengan orang yang kita sayangi seakan telah menjadi satu. Maka ketika sakratul maut menghampiri orang-orang yang kita kasihi sepertinya kita pun akan mati. Dan bagi kita yang masih bergantung pada mereka, ketidak hadiran mereka di masa yang akan datang, menghadirkan ketidakpastian akan nasib kita sendiri.

Sulit untuk membayangkan bagaimana perasaan para rasul saat mengetahui bahwa suatu waktu nanti Sang Guru harus mati, namun pada hari ketiga akan bangkit dari antara orang mati (lihat Matius 20: 17-19).  Lalu mengapa meskipun mereka telah mendengar dari mulut Tuhan Yesus sendiri bahwa Ia akan bangkit, mereka tetap saja menjadi bingung dan ketakutan?

      Pada akhir 2015 mama saya terkena kanker serviks stadium IIIB. Pada saat mendengar dokter menyampaikan vonis itu, seluruh tubuh ini menolak dengan keras sampai-sampai saya mengepalkan tangan menahan perasaan takut yang mulai menjalar dari kepala ke seluruh tubuh. Seakan membaca apa yang ada dipikiran saya dokter berkata bahwa diaknosa ini bukanlah akhir dari segalanya, kemudian ia menjelaskan langkah-langkah pengobatan selanjutnya, mulai dari sinar luar, sinar dalam dan kemoterapi. 

         Tidak ada pembahasan mengenai apa yang akan terjadi apabila semua usaha itu gagal untuk menjinakkan kanker di mulut rahim mama. Memikirkannya saja sudah membuat saya ingin mati. 

Seperti segaris awan hitam yang menggantung di atas cakrawala, kita sadar bahwa ada kemungkinan kalau awan-awan itu akan menuju ke tempat kita berada. Namun kita tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan berharap kalau angin akan menjauhkan kita dari awan-awan gelap itu.

Akan tetapi, meski telah melafalkan seribu doa, hari yang cerah dan penuh harapan itu ternyata harus berakhir dengan datangnya angin kencang dan awan hitam yang bergolak dengan halilintar yang menyambar-nyambar. 

Ketakutan berubah menjadi amarah dan kekecewaan ketika kondisi mama menjadi semakin memburuk. Sepertinya semua harapan telah sirna. Semua sudah berakhir.

Sekalipun ketika saya sedang mendoakan Salam Maria demi kesembuhan Mama, kekecewaan itu datang menyelinap seperti pencuri di malam hari dan mengambil hampir semua simpanan iman kepercayaan dari dalam hati saya. Untuk apa lagi doa-doa ini, karena semua sudah berakhir.

Akhirnya semua doa diarahkan untuk keselamatan jiwa mama, dan mungkin pula untuk saya sendiri yang sudah hilang harapan dan kepercayaan. Saya membisikkan Salam Maria ke telinganya, saya juga membisikkan permintaan maaf karena saya telah berdosa dan gagal sebagai seorang anak.

Pergilah mama, pergilah bersama air mata anakmu yang tak berguna ini, supaya berakhir penderitaanmu di dunia ini, beristirahatlah dengan tenang, semua sudah berakhir.

Ketika mama menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit, tangan kanannya menggenggam tangan kanan saya dengan sangat erat. Seketika itu juga saya terbawa kembali pada sebulan yang lalu saat saya sedang menyuapi mama, tiba-tiba tangan kiri beliau menggenggam erat lengan kiri saya sambil berkata, “kamu harus jadi pengganti mama.”  Masih terkejut saya hanya berkata: “iya,” sambil menganggukkan kepala.

Kembali duduk di samping ranjang mama di rumah sakit, seketika itu juga saya tersadar kalau genggaman itu seolah mengingatkan saya akan janji yang telah saya ucapkan sebulan yang lalu. Salib yang ada di pundak mama kini berada di atas pundak saya. Ketika perjalanan mama mulai berakhir bersamaan dengan melemahnya genggaman di tangan kanan saya, bersamaan dengan itu perjalanan saya baru saja di mulai di malam jumat yang selalu akan hidup di dalam benak sampai saya menghembuskan nafas yang terakhir.

Bagi orang yang belum pernah mendampingi orang yang paling kita kasihi sampai saat yang paling akhir, sulit untuk membayangkan apa yang terjadi pada para rasul selama pekan suci menjelang Paskah yang dramatis itu, dari saat-saat menjelang kematian Tuhan kita Yesus Kristus sampai bangkit dari antara orang mati.

Pasti mereka juga mengalami perasaan takut, sedih, kecewa, marah, kenapa Guru yang sangat mereka kasihi harus menderita dan mati dengan cara seperti ini. Kenapa Tuhan Yesus tidak melawan saja, dengan mudah ia akan menyapu bersih semua Legiun Romawi yang ada situ sampai ke Roma, mungkin hanya dengan sekali kebasan tangan, lalu mengapa ia membiarkan dirinya menderita, dihina, didera, dan dibunuh dengan cara yang sangat kejam.

Bagaimana dengan nasib para rasul sendiri setelah Sang Guru tiada? Jangankan untuk menyebarkan ajaranNya, keselamatan dan masa depan mereka sendiri saja masih sebuah tanda tanya besar.

Mereka sepertinya masih belum percaya kalau Tuhan Yesus pada hari ketiga akan bangkit dari alam maut. Tidak setiap hari orang bangkit dari kuburnya dan kembali berjalan diantara yang hidup. Tuhan Yesus memang pernah membangkitkan orang yang telah mati (lihat Yohanes 11: 38-44). Tapi membangkitkan diri-Nya sendiri? Sulit untuk memahami sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Bahkan setelah Tuhan Yesus bangkitpun sebagian dari murid-murid masih harus diyakinkan lagi kalau yang ada dihadapan mereka itu bukanlah hantu! (Lihat Lukas 24: 39).




Mungkin apa yang dikatakan Tuhan Yesus tentang kematian dan kebangkitannya bukanlah peringatan melainkan semacam nubuat, suatu pesan yang disampaikan oleh Tuhan Allah kepada para rasul sehingga setelah semuanya terjadi barulah mereka sadar dan mengerti akan maksud dari ucapan-ucapanNya itu (lihat Yohanes 13: 19 dan Yohanes 2: 22).

Dibalik semua itu satu hal yang sudah pasti. Saya dan juga para rasul hanyalah manusia biasa yang pelupa dan kurang cerdas, ketika hidup menjadi semakin sulit disitulah ujian datang. Saya seperti halnya para rasul telah diuji dan gagal. Biarlah kegagalan kami ini menjadi pelajaran bagi orang lain, pelajaran tentang Iman dan juga tentang menahan godaan untuk menghakimi para rasul karena iman mereka yang lemah, karena mungkin kita lupa kalau mereka juga adalah manusia biasa sama seperti kita.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gunung Salak Objek Fotografi Yang Menakjubkan

SEJARAH DOA ROSARIO