Seekor Naga Di Dalam Kepalaku


Di sebuah terminal Bus hari jumat pukul 6 pagi. Seorang pemuda nampak bergegas diantara sederetan bus yang mengetem di belakang pintu keluar terminal. Matanya yang kemerahan nyalang menatapi kaca depan setiap bus. Masker sekali pakai warna hijau muda menutupi hidung dan mulutnya. Sesekali ia membetulkan kacamata berpigura hitam yang melorot di atas hidungnya dengan jari tengah tangan kanannya. Rambut cepaknya yang sedikit lembab sehabis mandi nampak tersisir rapih ke samping. Jantung pemuda itu berdetak kencang sementara keringat mulai membasahi kemeja biru lengan panjangnya. Kedua kakinya yang melangkah cepat berusaha menghindari setiap genangan air yang bisa mengotori sepatu kulit dan celana panjang hitam yang dikenakannya. Tas punggung hitamnya bergerak ke kiri dan kanan dengan lincah mengikuti irama langkah pemuda itu.
            Tiba-tiba langkahnya terhenti di depan sebuah bus.
            “Ayo,  langsung berangkat!” Teriak kondektur yang berdiri di dekat pintu.
            Saat pemuda itu naik ke atas bus nampak tempat duduk depan dan di sebelah supir sudah penuh. Berdiri di belakang supir pemuda itu mendapati dirinya sebagai satu-satunya penumpang yang berdiri di dalam bus yang semua tempat duduknya sudah terisi penuh. Tatapan mata dari hampir semua penumpang dihadapannya membuat pemuda itu tidak nyaman, seolah-olah ia sudah melakukan sebuah kesalahan. Ia pun berputar sehingga pandangan matanya bisa menatap ke luar kaca depan. Satu-dua orang yang sempat naik ke dalam bus segera turun lagi saat melihat bus sudah penuh. Mereka lebih memilih naik bus berikutnya. Sang pemuda tidak dapat melakukan hal yang sama karena takut akan terlambat sampai ke tujuan. Bus berikutnya bisa jadi baru akan meninggalkan stasiun hampir setengah jam kemudian.
          Untuk menjinakkan kegelisahan dan perasaannya yang kacau, pemuda itu mendengarkan musik yang merembes lewat sepasang earphone yang terhubung pada telepon pintar di saku kemejanya. Tanpa alat itu pikirannya akan menjadi keruh dengan berbagai hal yang akan membuatnya cemas. Ini cukup untuk membuatnya tenang dan tetap waras sampai ke tujuan.
Pemuda itu tak lama sendirian berdiri, penumpang-penumpang lain segera berdatangan untuk menemaninya. Kini pemuda itu terjepit diantara kerumunan orang dan kursi. Terhuyung-huyung, bus yang kelebihan penumpang itu mulai bergerak keluar dari terminal dan sesaat kemudian berpacu di atas jalan tol. Dari arah belakang pemuda itu bisa mendengar kondektur yang mulai menagih ongkos. Ia pun merogoh ke saku celana belakang. Seketika itu juga seluruh tubuhnya serasa seperti disiram air dingin saat tangan kanannya meluncur ke dalam saku yang kosong. Pemuda itu menggigil ketakutan. Apakah dompet itu tertinggal di rumah seperti yang sudah terlalu sering terjadi. Kemudian pemuda itu teringat akan uang yang disimpannya di dalam tas punggungnya, khusus untuk menghadapi situasi seperti ini. Ketika pemuda itu berhasil menemukan selembar uang seratus ribu rupiah di kantung depan tas punggungnya, ia menghela nafas lega.
            Satu jam kemudian pemuda itu sudah berdiri di depan sebuah bangunan perkantoran yang menjulang ke langit.  Matahari bersinar dengan cerah menghangatkan udara pagi, namun tidak bisa menghalau awan kegalauan yang menghitam di atas kepalanya. Pemuda itu mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan-lahan untuk menenangkan dirinya sebelum melangkahkan kaki  memasuki halaman gedung.
            Keluar dari lift yang membawanya ke lantai 18, pemuda itu langsung mencari kamar kecil. Tidak ada siapa-siapa di situ kecuali seorang pegawai cleaning service yang kemudian menunjukkan pada pemuda itu dimana letak kamar kecil. Sesaat kemudian pemuda itu mencoba untuk tersenyum di depan cermin namun hasilnya tidak bagus. Tangan kanannya terhenti di udara saat hendak menggapai keran air. Diperhatikannya tangan yang nampak gemetaran itu. Pemuda itu mengepalkan tangan kanannya. Sekali lagi ia menatap bayangannya di kaca dan mencoba untuk tersenyum. “Kamu pasti bisa,” katanya dalam hati. Sehabis mencuci tangannya pemuda itu bergegas keluar.
            Sesaat kemudian pemuda itu memasuki ruang tunggu bagian personalia. Ia terus berjalan menuju meja penerima tamu yang ada di bagian belakang.
Seorang pegawai perempuan tersenyum ramah pada pemuda itu. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” sapanya.
“Selamat pagi,” sahut pemuda itu. “Saya ada janji wawancara dengan Pak Toni Sidharta. Nama saya Martin Wijaya.”
“Martin Wijaya,” ulang perempuan itu sambil memeriksa sebuah daftar di atas mejanya. “Martin silahkah tanda tangan di sini,” lanjutnya seraya menyodorkan map merah berisi yang  daftar nama itu ke hadapan Martin. Sementara Martin membubuhkan tanda tangannya di atas daftar, pegawai perempuan itu menyiapkan beberapa lembar formulir. “Foto 4x6nya dibawa?” tanyanya.
“Bawa,” jawab Martin sambil mengembalikan map merahnya.
“Tempel fotonya di sini.”  Pegawai perempuan itu menunjuk pada sebuah kotak yang ada di bagian kanan atas formulir.
“Baik,” sahut Martin. Ia pun beranjak dari depan meja penerima tamu menuju sebuah sofa panjang.
Sementara Martin mengisi formulir itu, para pegawai mulai berdatangan. Mereka yang  tidak menganggap keberadaan Martin melangkah tanpa mengalihkan pandangannya, seolah tidak ada siapapun di situ kecuali pegawai perempuan yang ada di belakang meja penerima tamu. Namun ada juga yang membalas senyum Martin. Pelamar-pelamar yang lain juga mulai berdatangan. Martinpun jadi semakin gelisah.
Beberapa menit kemudian Martin mengembalikan formulir yang sudah berisi kepada pegawai perempuan itu. Ia pun kembali ke sofa panjangnya yang kini sudah hampir dipenuhi pelamar-pelamar lain. Penampilan mereka terlihat sangat profesional dan penuh percaya diri. Senyum mereka penuh dengan kemantapan, wajah mereka bersinar cerah seolah-olah pekerjaan ini sudah mereka dapatkan. Tiba-tiba saja Martin jadi merasa kecil, ia tidak pantas berada di sini. Siapa yang mau mempekerjakan orang bermasalah seperti dirinya? Martin apa yang kamu lakukan disini? Walaupun sudah berusaha, Martin tidak dapat membuang pikiran-pikiran ini. Seandainya saja sekarang ia bisa mendengarkan musik.
Martin yang semakin gelisah terkejut saat pegawai perempuan di meja penerima tamu tiba-tiba memanggil namanya. Rasanya seperti seluruh isi perut naik ke kepala. Sambil berjalan ke meja penerima tamu, Martin terus berusaha mengendalikan dirinya.
“Martin, ayo ikut saya,” kata pegawai perempuan itu.
Martin pun berjalan mengikuti pegawai itu menuju sebuah ruang rapat kecil. Martin melangkah masuk dan pintu di belakangnya pun tertutup. Di seberang sebuah meja rapat yang bisa menampung sampai selusin orang itu sudah duduk seorang lelaki setengah baya. Wajahnya bulat dengan rambut tipis yang sebagian telah memutih. Kaca matanya nampak menggantung di ujung hidungnya. Kemeja biru lengan panjang yang dikenakannya nampak serasi dengan dasi warna merahnya. Cahaya mentari merembes lewat jendela-jendela besar yang ada di belakang lelaki itu. Martin bisa melihat bangunan-bangunan yang ada di seberang jalan.
“Selamat pagi Martin, nama saya Toni Sidharta, ayo silahkan duduk,” sapa laki-laki itu.
Martin berjalan ke dekat meja. “Selamat pagi Pak Toni,” kata Martin sambil mengasongkan tangan kanannya. Keduanya pun saling berjabat tangan.
Martin menarik sebuah kursi sementara matanya menatap formulir yang tadi baru saja diisinya yang kini sudah berada di hadapan Pak Toni.
 “Jam berapa kamu tadi berangkat?” tanya Pak Toni.
“Dari terminal jam 6 pagi.” Jawab Martin.
“Jadi kamu ini anak bungsu dari 2 bersaudara? Tolong ceritakan tentang keluarga kamu.”
“Kakak perempuan saya sudah menikah dan punya 2 anak. Papa bekerja di perusahaan swasta di bagian akunting, sementara Mama adalah ibu rumah tangga,” sahut Martin sambil memperhatikan Pak Toni membalik-balik formulirnya.
“Kamu masuk fakultas hukum tahun 2004 lulus tahun 2011?” kata Pak Toni sambil membelalakan matanya. “Kenapa bisa begitu lama?”
Martin menelan ludah. Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan ini akan keluar juga. “Semester ke-empat saya terkena masalah narkoba. Kemudian selama setahun saya tinggal di lembaga rehabilitasi untuk penderita narkoba. Namun setelah semua itu saya berhasil menyelesaikan kuliah saya dengan nilai-nilai yang cukup baik.”
“Kenapa kamu sampai bisa terkena narkoba?” Pak Toni menggelengkan kepala sambil menghembuskan nafasnya. “Kasihan orang tua yang sudah bekerja keras supaya bisa menyekolahkan kamu. Bagaimana, apa sekarang kamu masih memakai narkoba?”
Martin yang sudah hancur lebur di dalam menjawab dengan segala kemantapan yang bisa dikerahkannya. “Tentu saja tidak pak, sudah bertahun-tahun saya tidak menyentuh lagi barang haram itu. Saya sudah bersih.”
Pak Toni hanya menjawab dengan anggukan kepala tanpa melepaskan pandangannya dari formulir yang ada di tangannnya. Satu menit penuh Pak Toni hanya membalik-balik formulir itu. Sampai di sini Martin merasa kemungkinannya untuk mendapatkan pekerjaan ini sangatlah kecil. Mungkin di dalam hatinya Pak Toni sedang mengutuki bagian personalia karena meluluskannya untuk wawancara pagi ini.
“Tolong ceritakan apa saja yang menurut kamu adalah kelemahan kamu.” Suara Pak Toni memecah kesunyian.
“Saya sering kehilangan perhatian, saya suka melupakan hal-hal kecil seperti jadwal, sulit untuk berkonsentrasi menyelesaikan tugas, sering berbuat ceroboh, sering kali tanpa sadar langsung mengatakan apa yang saya rasakan dan suka mendominasi percakapan,” kata Martin. “Itu adalah akibat ADHD dalam kehidupan saya.”

“ADHD?” dahi Pak Toni langsung berkerut.
Martin tersenyum kecil. “Attention Deficit Hiperactivity Disorder. Orang kebanyakan lebih mengenalnya dengan sebutan hiperaktif saja.”
“Bukannya itu cuma dialami anak-anak saja?”
“Anak-anak yang didiaknosa ADHD sebagian akan terus mengalami problem sampai dewasa.” Sahut Martin, “saya didiaknosa ketika menjalani rehabilitasi narkoba.”
“Kalau hanya sekali-sekali lupa sih, saya juga suka mengalaminya,” kata Pak Toni sambil tersenyum sinis. “Misalnya pagi ini saya lupa harus mewawancara calon pegawai baru, saya malah mau ikut rapat direksi, sampai-sampai sekretaris saya yang harus mengingatkan.”
Martin menganggukkan kepalanya. “Mungkin saya berbeda dengan bapak karena saya hampir selalu mengalaminya, dan itu membuat saya selalu dalam masalah bahkan sejak saya masih kanak-kanak. Saya masih ingat kalau dulu saya selalu kesulitan di sekolah sehingga nilai-nilai saya hancur begitu juga rasa percaya diri saya. Ini juga yang mengakibatkan saya terjerumus pada narkotika. ADHD sudah memberikan saya banyak masalah seumur hidup saya, tapi kini saya tahu apa yang harus saya lakukan buat mengurangi efek-efek negatifnya. Selain hal-hal negatif itu, orang yang hidup dengan ADHD punya satu kekuatan.”
“Apa itu?” tanya Pak Toni yang kelihatan penasaran.
 “Kalau sudah terfokus pada satu pekerjaan, saya bisa terus mengerjakannya seharian dari pagi sampai ke malam tanpa beristirahat, bahkan lupa makan atau minum,” jawab Martin penuh semangat. “Seolah-olah di dunia ini hanya ada pekerjaan itu, dan hanya pekerjaan itu yang berarti.”
Pak Toni tersenyum geli. “Di sini kami tidak akan membiarkan pegawai kelaparan. Apa ADHD ini ada obatnya?
“Ada,” jawab Martin. “Tapi saya tidak menjalani pengobatan karena masalah biaya dan juga saya tidak ingin kecanduan untuk yang kedua kalinya.”
“Kamu tahu Martin, sudah lebih dari duapuluh tahun aku mewawancarai pegawai baru. Kukira aku sudah mendengar semua alasan... Entahlah, aku pikir kamu kurang berusaha, anak muda dari dulu sampai sekarang hanya pengin bersenang-senang saja,” kata Pak Toni sambil memandangi Martin dalam-dalam. “Martin hidup ini perjuangan, jangan mudah menyerah, kamu harus ingat perjuangan orang tuamu jangan kecewakan mereka, mengerti?”
Martin menganggukkan kepalanya dan tersenyum pasrah. “Mengerti pak.”
“Baiklah Martin, aku pikir kita sudahi saja wawancara ini sampai disini. Untuk pemberitahuan selanjutkan kami akan menghubungi kamu lewat telepon.” Pak Toni mengulurkan tangan kanannya pada Martin. “Martin, terima kasih sudah datang hari ini.”
Martin menyambut tangan itu. “Terima kasih karena Pak Toni sudah mau mewawancarai saya.”
Setelah memungut kembali harga diri yang masih tersisa, sekali lagi Martin tersenyum kepada Pak Toni dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Seorang diri di dalam lift yang bergerak turun, beban yang ada di pundaknya kini terasa lebih ringan, namun di dalam Martin merasa seperti tercabik-cabik. Kepalanya tertunduk dan langkahnya gontai saat ia berjalan di trotoar menuju ke halte bus. Martin menghentikan langkahnya dan memperhatikan lalu lintas Jakarta yang ramai. Martin membayangkan dirinya berjalan pelan ke tengah jalan dengan mata terpejam, dan BAAM! tiba-tiba sebuah bus menyambarnya!
Martin menghembuskan nafas yang panjang sambil menggelengkan kepalanya, ia pun melanjutkan langkahnya. Di halte bus Martin menyumpal kedua telinganya dengan earphone dan perlahan-lahan suara alunan musik mulai bekerja seperti obat bius yang membaalkan hatinya dan menenangkan pikirannya.
Dalam hati Martin memaki dirinya sendiri. Bahkan orang tuanya sendiri tidak tahu kalau ia adalah penderita ADHD. Entah kenapa hal itu tiba-tiba saja muntah dari mulutnya saat wawancara tadi. Mungkin ia sudah muak dengan wawancara-wawancara ini, dengan tatapan muak dari pewawancara, dan dengan sikapnya sendiri yang sok jujur dengan tidak menyembunyikan fakta bahwa ia pernah menggunakan narkoba.
“Sudahlah…,” kata Martin dalam hati sambil menghembuskan nafas panjang. Seandainya saja ia bisa memutar jarum jam hingga kembali ke saat itu, mungkin nasibnya tidak akan seperti ini. Pemandangan yang berlari di sekelilingnya membawa pikiran Martin kembali ke saat dimana mimpi buruk ini dimulai:

Kenapa Martin sampai menggunakan narkoba? Mungkin jawabannya dimulai ketika Martin masih duduk di sekolah dasar, dimana kakak perempuannya hampir selalu menjadi juara kelas, sementara Martin selalu hampir tidak naik kelas. Ia terkenal sebagai anak yang malas mengerjakan pekerjaan rumah, di kelas Martin lebih suka menggambar daripada memperhatikan guru. Martin tidak pandai bergaul, ia dimusuhi bahkan sering mendapat gangguan dari teman-temannya. Martin sangat membenci sekolah, satu-satunya saat menyenangkan di sekolah yang bisa ia ingat adalah ketika ia berada dipojok perpustakaan yang sepi dikelilingi komik-komik kesukaannya dan angannya berlayar bersama sekawanan awan putih yang bergantung di langit di luar jendela.
            Periode sekolah menengah pertama adalah sebuah masa yang sangat sulit untuk Martin, dimana ia sering berpindah-pindah sekolah. Permasalahan timbul saat Martin tidak diterima masuk ke SMP di sekolah lamanya, di sekolah yang baru Martin tidak bisa beradaptasi dengan teman-teman dan lingkungan barunya. Akibatnya Martin sempat tidak naik kelas dan berganti sekolah sampai tiga kali. Masa remaja dimana seorang anak sedang mencari-cari identitas diri, Martin sudah menyadari siapa dirinya, bahwa ia adalah anak yang bodoh dan semua orang membencinya termasuk orang tua dan saudaranya.
Entah bagaimana Martin dapat melewati masa-masa yang sulit itu dan ia sampai juga di gerbang Sekolah Menegah Atas. Di sini Martin bertekad tidak akan mengecewakan orang tuanya, dan ia akan bekerja keras. Usahanya tidak sia-sia, kelas satu SMA dilewatinya dengan nilai rapor akhir tertinggi kedua di kelasnya. Sampai sekarang Martin masih ingat hari pembagian rapor itu namun sayangnya bukan karena pencapaiannya.
Siang itu Martin berjalan dari gerbang sekolah menuju tempat papanya memarkir mobil. Dengan senyum bahagia menghiasi wajahnya  Martin membuka pintu mobil dan naik ke dalam. Belum sempat memberitahukan nilai rapornya, sang papa mengatakan sebuah kalimat yang Martin tidak pernah lupa sampai sekarang.
“Lihat tampang anak-anak itu, culun-culun semua,” kata sang papa dengan senyum terkulum di wajah. “Berbeda dengan anak-anak di tempat kakak perempuanmu sekolah, mereka semua benar-benar terlihat intelek dan berbobot.”
SMA tempat Martin bersekolah memang bukan sekolah favorit, bahkan tidak masuk dalam 3 besar sekalipun. Berbeda dengan sang kakak yang bersekolah di sebuah SMA favorit tidak hanya di kota itu bahkan mungkin juga di seluruh Indonesia.
Martin tidak mengatakan apa-apa, dan sang papa pun tidak berkomentar apapun mengenai nilai rapor Martin. Kedua mata Martin menjadi basah setiap kali teringat akan hari itu.


Sore itu seperti hari ini di bulan Agustus, matahari bersinar dengan cerah saat Martin berjalan memasuki pekarangan rumahnya setelah perjalanan panjang dengan bus. Meskipun begitu Martin sama sekali tidak merasa lelah, karena ia pulang dengan membawa sebuah kabar gembira. Kerja kerasnya sepanjang semester lalu terbayarkan sudah. Martin mendapatkan index prestasi 4.0. Maka tidak mengherankan kalau langkahnya terasa ringan dan hatinya yang berbunga-bunga terpancar dari senyum di wajahnya. Di dalam benaknya sudah terbayangkan wajah papa dan mama yang menatapnya dengan bangga, begitu pula saudara perempuannya.
Mendekati pagar rumah orang tuanya, Martin sedikit mempercepat langkahnya. Jantungnya yang berdebar kencang memompakan kegairahan ke seluruh tubuhnya. Martin membuka pagar yang tidak terkunci menutupnya kembali dan berjalan mendekati bibir teras rumah yang sudah penuh dengan berbagai pasang sandal dan sepatu. Seperti kata papanya sebelum ia berangkat beberapa hari yang lalu, kakak perempuannya yang juga berkuliah di  luar kotapun telah pulang.
Langkahnya terhenti saat Martin mendengar percakapan dari dalam rumah dan namanya disebut-sebut.
“Oh ya, hari ini Martin juga mau pulang ke rumah,” kata Papanya. “IP-nya untuk semester ini 4.0 loh.”
“Wah, pantas saja kalau aku kuliah hukum IP-ku juga bisa empat terus. Di Universitas swasta lagi,” teriak kakak perempuannya. “Coba suruh dia kuliah di Teknik Industri ITB kalau bisa  mendapatkan indeks prestasi kumulatif 3.6 seperti aku, baru namanya itu prestasi.”
Papa dan kakak perempuan tertawa.
“Lucy, kamu memang anak papa yang paling hebat,” ujar Papa. “Cuma kamu yang bisa papa andalkan.”
Seperti sebuah meteor sebesar rumah menghantamnya seketika itu juga, di dalam Martin serasa hancur lebur. Seolah udara telah diambil dari dalam paru-parunya, nafasnya serasa sesak dan kepalanya berputar-putar. Iapun berbalik arah dan berjalan kembali ke arah pagar, membukanya lalu menutupnya kembali dengan perlahan-lahan. Martin telah berjalan sepanjang beberapa ratus meter ketika ia berhenti dan memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam saluran air di sisi jalan.
Sambil melanjutkan langkahnya Martin menatap sayu ke angkasa seolah-olah sedang mencari, masih adakah Tuhan di atas sana. Dalam perjalanan bus ia bersumpah tidak akan kembali ke rumah orang tuanya.
Keesokan malamnya, di tempat kos-kosannya, Martin mencurahkan seluruh perasaannya pada seorang teman yang juga tidak pulang liburan semester ini. Tanpa diduga, teman itu menawarinya narkoba.
“Ini bisa menghilangkan rasa sakit itu,” begitu katanya. “Ayo cobalah, kamu akan merasa jauh lebih baik.”
“Apa ini?” kata Martin sambil memandangi lintingan kertas yang baru saja diterimanya di depan wajah.
“Itu ganja,” katanya dengan santai. “Ayo coba saja, ngga apa-apa koq.”
“Ngga apa-apa? Bukannya bisa ketagihan?” sahut Martin.
“Kalau mau, kamu bisa berhenti kapan saja,” katanya. “Pilih mana: tergantung sama sakit hati atau kenikmatan.”
“Apa benar?” sahut Martin setengah sangsi.
Sang teman menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.
Martin yang sudah termakan kata-kata temannya itu dan kesakitan karena luka besar yang menganga di hatinya menyalakan ganja yang ada di bibirnya. Sejak saat itu hingga hampir enam bulan kemudian Martin jatuh ke dalam lubang kenikmatan membawa penderitaan yang sepertinya tidak berujung.
Tentang segala kesusahan yang terjadi dalam hidupnya, Martin selalu menyalahkan dirinya. Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu yang buruk, apa yang berasal dari Nya pasti adalah baik. Oleh karenanya hal-hal yang buruk pastilah berasal dari yang jahat, maka dari itu pasti ia adalah anak setan!
Seperti ada seekor naga yang selalu mengaduk-aduk pikirannya sehingga Martin sulit untuk berkonsentrasi, tapi anehnya ia dan sang naga bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam di depan layar TV sambil memainkan permainan konsol kesukaannya hingga lupa segalanya, ia bisa bersepeda selama berjam-jam tanpa merasa lelah sama sekali, tapi jangan beritahu dia untuk duduk dan mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah. Multi-tasking adalah siksaan untuk Martin, ia akan terlalu berkonsentrasi pada satu pekerjaan hingga pekerjaan lainnya akan terbengkalai. Dalam tekanan Martin sering kali melupakan sesuatu, pasti ada saja yang tertinggal. Sering tanpa sadar berusaha untuk mendominasi pembicaraan dalam kelompok dan mengatakan sesuatu pada orang lain yang kemudian akan disesalinya.
Menyadari kalau sepertinya ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, Martin mulai menjaga jarak dengan orang lain. Ini terjadi sejak ia berada di kelas terakhir SMA dan di perguruan tinggi. Akibatnya sangat buruk bagi Martin, orang-orang menjauhinya karena menganggap dirinya sombong. Sesungguhnya Martin takut berada di dekat mereka, takut melukai hati mereka dan terutama takut kalau hatinya dilukai karena perbuatannya sendiri, namun sepertinya apapun yang Martin lakukan, mereka selalu bisa menemukan alasan untuk membencinya.

Beberapa jam setelah wawancara kerja yang singkat itu Martin sudah berdiri lagi di pinggir beranda rumah orang tuanya. Mengetahui kalau Lucy sang kakak ada di dalam rumah bersama dengan suami dan dua orang anaknya, tidak membuat langkahnya ke dalam rumah jadi semakin ringan. Jantungnya berdebar kencang dan kepalanya terasa sangat berat.
            Rudy, keponakan Martin yang paling tua diantara dua bersaudara langsung meyambutnya di ruang keluarga. “Oom Martin sudah pulang yah,” sapanya dengan riang.
“Iya,” jawab Martin sambil tersenyum.
Di ruang keluarga itu ada Lucy yang duduk di sofa panjang sambil membaca koran, sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Martin. Sang suami yang duduk di sebelahnya hanya melirik sekilas ke arah Martin, tanpa senyum, kemudian kembali menancapkan pandangan kedua matanya ke layar TV.  Anak-anaknya Mario, 9 tahun dan Helda, 8 tahun bermain-main di lantai di depan TV.
“Martin, bagaimana wawancaranya?” Tanya Mama yang baru saja muncul dari dalam dapur.
“Entahlah,” jawab Martin dengan wajah sayu. “Kelihatannya ngga akan diterima.”
“Ngga ada yang mau mempekerjakan pemakai narkoba!” celetuk Lucy tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang menempel di depan wajahnya. “Sebab cuma orang goblok yang mau pakai narkoba!”
Akhirnya sang suami tersenyum geli. Lengkap sudah penderitaan Martin.
“Martin kan sudah ngga pakai narkoba lagi,” kata Mama. “Martin bagaimanapun juga kamu tetap harus terus berusaha.”
“Iya ma,” jawab Martin dengan suara yang hampir hilang sambil berusaha menahan amarah dan perasaan hina yang bergolak di dalam kepalanya.
Dari balik kaca Martin bisa melihat papanya yang sedang duduk di teras belakang sambil membaca koran. Tidak ada sambutan menanyakan bagaimana wawancaranya, siapa pewawancaranya, kantornya bagaimana, bahkan menoleh pun tidak.
Martinpun bergegas menuju tempat persembunyiannya, sebuah kamar kecil yang ada di lantai dua.
 “Cuma orang goblok yang mau pakai narkoba…” kalimat itu bergema lagi di dalam kepala Martin yang kini terbaring di atas ranjang di dalam kamarnya. Saat memejamkan matanya Martin berharap semoga ia tidak akan pernah terbangun lagi untuk selamanya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gunung Salak Objek Fotografi Yang Menakjubkan

Ketika Tuhan Menguji Iman Kita Seperti Halnya Para Rasul

SEJARAH DOA ROSARIO